Penerbit/Tahun : AKAR/
Harga : 30.000
Pada kebanyakan sajak Ahda Imran saya masih
merasakan jejak-jejak pantun Melayu, terutama dalam kemerduan bunyi dan
ketertiban bentuk, serta ia sangat sadar pada irama. Dengan kata lain, penyair
berdarah Minang yang besar di Cimahi ini tidak tercerabut dari akar tradisi
leluhurnya, bukan ikut memperkaya tradisi dengan caranya sendiri. (Acep Zamzam
Noor, penyair)
Membaca puisi-puisi Ahda Imran, kita seperti
dihadapkan pada rangkaian peristiwa yang melompat-lompat. Ia menawarkan beragam
tema yang dipintal dalam belitan metafora. Maka, segala yang terserak—hujan,
sungai, ikan, air, rambut, handphone,
arloji atau apa pun—di depan mata, serempak menjelma larik-larik asosiatif yang
memaksa saklar imajinasi kita bergentayangan menjelajah peristiwa dalam puisi. Ahda
Imran laksana hendak mewartakan apapun ketika segala peristiwa menciptakan
kegelisahan yang mempesona yang serta-merta menggerakkan sentuhan estetiknya (aesthetic contact). Puisi-puisinya menjadi saluran sublimasi yang mengasikhanyutkan. (Maman
S. Mahayana, kritikus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar