Penulis: Raudal Tanjung Banua
Penerbit: Akar Indonesia – Yogyakarta
Tahun: Oktober, 2013
Kategori: Puisi
Harga: 40.000
Setelah berusaha cukup lama
menApi
Bawah Tanah dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama merupakan puisi-puisi
lepas yang saya tulis dalam berbagai peristiwa dan kesempatan sepanjang tahun
1999-2007. Meski temannya beragam, namun secara umum menurut hemat saya
merupakan adukan yang personal dan yang sosial, atau sebaliknya. Ada pun bagian
kedua merupakan sejumlah puisi naratif yang relatif panjang, meski ditulis
dalam rentang waktu agak berjauhan (1999-2005) namun memiliki benang merah
tematik dan gaya ungkap yang cukup dekat. Sedangkan bagian ketiga merupakan
puisi yang saya tulis dua atau tiga tahun berselang (2008-2011), terutama dalam
sejumlah lawatan atau perjalanan yang saya lakukan ke berbagai tempat.
cari format yang pas, akhirnya
Meskipun ketiga bagian tersebut
ditetapkan, namun persepsi saya yang menyertainya bukan sesuatu yang mutlak
untuk dimasuki atau diikuti oleh pembaca. Interpretasi jelas akan memberi
landasan atau acuan yang akan memperkaya komunikasi. Akan tetapi, sebagai
bagian dari dunia, saya juga percaya bahwa puisi punya batas-batas
teritorialnya yang fana. Oleh karena itu, kiranya, interpretasi memiliki
batasnya sendiri pula, yang terkatakan atau tidak terkatakan, diakui atau tidak
diakui. Liminitas di sini tidak berarti membatasi kuasa tafsir, melainkan
menempatkan perangkat dan potensi tafsir pada posisinya yang tepat.
… puisi, menurut saya, idealnya perlu memiliki rujukan yang jelas (pada
akhirnya visi yang jelas) sehingga kuasa tafsir juga mesti bekerja dengan
jelas. Ini prinsip… yang saya yakini sehubungan dengan kehadiran dan pemaknaan
puisi.
Puisi, menurut hemat saya, mesti membangun dirinya di atas berbagai
tradisi yang menghidupi dan dihidupinya. Dan ini adalah prinsip saya …
sehubungan dengan muatan misi puisi.
—Raudal Tanjung Banua, peraih penghargaan Sih Award 2005 dari Jurnal Puisi (untuk puisi “Pengakuan Si
Malin Kundang”), Anugrah Sastra Horison
2005 (untuk cerpen Cerobong Tua Terus Mendera), 5 besar Khatulistiwa Literary
Award 2005 (untuk buku Gugusan Mata Ibu-kategori
puisi dan buku Parang Tak Berulu-kategori
prosa) serta MASTERA 2007 (untuk buku Gugusan
Mata Ibu) di Kualalumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar